Selasa, 31 Mei 2011

Tunangan, Perlukah? Bagaimana Agama Memandangnya?


Oleh : Habibul Huda bin Najid Lc (Mahasiswa program pasca sarjana Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff Hadramaut Yaman)
 "Lebih baik tunangan dulu" itulah kata-kata yang disarankan pada orang yang mau berpisah baik sebab meneruskan study ke luar negeri, tugas ke luar kota atau karena cuma takut kekasihnya dibuat rebutan.
Tunangan memang telah membudaya di Negara kita Indonesia, tradisi ini sangat melekat di hati masyarakat, sehingga hampir disemua akad pernikahan didahului dengan ikatan tali pertunagan.
Model pertunangan yang yang mewarnai masyarakat kita berbeda antara satu dengan yang lain, ada yang cukup dengan pertukaran cincin yang disertai dengan persetujuan kedua mempelai tanpa melibatkan orang lain, ada juga yang membuat pesta besar-besaran, model ini hampir menyaingi pesta perkawinan dengan melibatkan semua kelurga baik yang jauh maupun yang dekat dan juga mengundang orang sekampung untuk mengikuti acara selamatan bagi pasangan yang akan menjalin keluarga baru. Bahkan saking girang dan bahagianya banyak dari pihak mempelai pria yang telah memberikan maharnya sebelum akad pernikahan dilangsungkan, begitu juga menghadiahkan sepasang baju cantik dan barang-barang indah lain untuk kekasih tunangannya.

Budaya pertunangan ini ada yang sukses sampai ke jenjang tali perkawinan, namun ada juga yang kandas ditengah jalan tanpa membuahkan hasil yang mereka idam-idamkan dan tak jarang malah menimbulkan sengketa antar keluarga, sudah menjadi rahasia umum pertunangan yang batal adalah ajang percorengan reputasi.

Banyak pihak mengatakan bahwa pertunangan banyak nilai positifnya, sehingga mereka menganggap tunangan itu perlu sebagai langkah awal menuju pernikahan, sebab pernikahan itu bukan sekedar menyatukan dua mempelai melainkan dua keluarga besar, kalau ada pertunangan insyaAllah komunikasi dua keluarga akan terbuka lebar, sehingga ada waktu untuk penyesuaian diri. Otomatis persiapan pernikahan juga akan lebih mantap.

Namun ada juga yang mengatakan tidak perlu adanya pertunangan, karena kebanyakan tunangan kandas di tengah jalan dan tidak berakhir di titik tali perkawinan, pihak keluarga sudah banyak direpotkan belum lagi urusan menanggung malu dan timbulnya konflik antara keluarga. " kalau sudah jodoh tidak akan lari kemana, ngapain harus tunangan…? Nikah aja bisa cerai apalagi tunangan…! Itulah omongan mereka.
Lalu bagaimana pandangan syareat dalam menyikapi masalah ini, marilah kita simak sikap dan komentar Ulama' di bawah ini :

Hukum Pertunangan (Khitbah).

Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan.

Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.


Syarat-syarat Khitbah

Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini:
a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahrom), tunggal susuan (rodloah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya ". Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.


Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia.
Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, mungkin sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah-sah saja, sebab akad tersebut telah terpenuhi syarat-syarat dan sesuai dengan rukun-rukunya, obyek larangan hadits di atas tertuju pada khitbah, sedangkan khitbah sendiri tidak termasuk rukun apalagi syarat akad nikah bahkan khitbah adalah di luar batas akad nikah. Inilah qaul yang mu'tamad (yang dibuat pegangan).
Berbeda dengan pendapat madzhab Dhohiriah, Mereka mengatakan akad tersebut batal walaupun kedua mempelai telah melakukan hubungan layaknya suami istri ( jima').

Lain lagi dengan pendapat Malikiah, dalam masalah ini mereka mengemukakan tiga qaul yaitu :
· Sependapat dengan mayoritas ulama'.
· Sependapat dengan madzhab Dhohiriah.
· Wajib difash (dibatalkan) jika kedua mempelai belum melakukan hubungan layaknya suami istri (jima'), bila sebaliknya maka nikahnya tetab berlangsung dan dianggab sah.


Pembatalan Tali Pertunangan dan Imbasnya

Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar tidak karuan.

Ulama' berpendapat boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.

Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka dan kobaran api yang selalu membakar emosi, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang, dalam hati terusik rasa ingin menuntut semua pemberian yang telah dihadiahkan pada mantan kekasihnya. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?

Kalau pemberian itu berupa mahar, maka pihak mempelai pria berhak meminta kembali dan wajib bagi mempelai wanita untuk mengembalikanya, jika mahar tersebut masih utuh, dan bila mahar sudah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya (harganya) atau dengan mengembalikan semisal bila mahar berupa mitsliyat (barang yang modelnya sejenis seperti beras dan lain-lain).

Akan tetapi jika pemberian itu bukan berupa mahar melainkan bersifat hadiah atau bentuk pemberian lainnya, maka terjadi khilaf di antara ulama' :
· Sebagian ulama' (Syafiiyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
· Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
· Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain.


Wanita Melamar Pria

Biasanya prialah yang menentukan pilihanya pada seorang wanita, inilah adat di Negara kita dan budaya ketimuran pada umumnya, sebab mayoritas wanita dihiasi perasaan malu yang tinggi dan enggan mengutarakan isi hatinya, justru karena tabiat inilah yang membuat kaum lelaki tertarik dan ingin segera mempersuntingnya. Namun juga sering terjadi pihak keluarga mempelai wanita yang memulai jalinan tali pertunangan dan bahkan banyak wanita yang berani mengungkapkan cintanya pada sang pria.

Memang ini bukan hal yang baru atau imbas dari era modern, namun budaya ini adalah warisan nenek moyang kita, karena masalah ini sudah berjalan di zaman Nabiyullah Suaib a.s. tertera dalam Al Qur'an surat al-Qishos ayat 27 bahwa Nabiyullah Suaib a.s. pernah menawarkan puterinya pada Nabi Musa as. Begitu juga di zaman Rasulullah saw. ketika Ummul mukminin Khodijah ra. Mengungkapkan cintanya terhadap Rasulullah dan memohon agar Rasulullah berkenan menikahinya.


Penutup

Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.

Dengan demikian penulis cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan seperti yang disampaikan Roslina psikologi dari Empati Development Center, diantaranya sebagai berikut :
1. Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
2. Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3. Menikah dengan motivasi yang positif.
4. Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5. Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.


Pendapat lain dari www.pesantrenvirtual.com menjelaskan....

1. Khitbah adalah permintaan resmi yang disampaikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan maksud yang jelas yaitu menikahinya. Hukumnya sunnah dan tidak ada persyaratan khusus didalamnya. Yang terpenting adalah maksud dari pihak laki-laki tersebut bisa tercapai. Khitbah juga merupakan sarana pihak laki-laki untuk mengenal pihak wanita lebih lanjut.

Dalam khitbah dianjurkan bagi lelaki untuk melihat perempuan (dalam batas yang diperbolehkan agama), bahkan sebelum menyatakan khitbah secara resmi. Dalam riwayat Mughirah bin Syu'bah ketika hendak melakukan khitbah kepada seorang perempuan, Rasulullah menasehatinya "Lihatlah dulu, itu lebih baik dan akan bisa mendatangkan rasa cinta di antara kalian" (H.R. Ashabussunan).

2. Tunangan yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah yang disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Sedangkan dalam Islam, hal seperti itu tidak ada, yang ada hanyalah khitbah itu sendiri. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahrom, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.


pendapat lain lagi dari www.pikiran-rakyat.com yang menjelaskan....

PERTUNANGAN atau khitbah dalam bahasa Arab, atau meminang/ melamar dalam bahasa Melayu, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal istri.

Pertunangan bermakna berjanji atau bersetuju untuk menikah. Bila khitbah terjadi pada anak gadis, persetujuan wali sangat diperlukan tanpa mengurangi hak/ persetujuan gadis tersebut. Sementara bagi wanita yang sudah menjanda, keputusan dirinya sendiri lebih kuat untuk menerima atau menolak dinikahi. Bahkan dialah yang harus mengajukan dahulu, bukan walinya.

Menurut Ateng Muhaemin, anggota tim penasihat BP4 Departemen Agama Kota Bandung, asal hukum khitbah adalah mubah atau boleh, namun bisa jadi sunah atau bahkan menjadi wajib bila ditujukan untuk memelihara utuhnya pernikahan.

"Jadi bila dipersoalkan perlu tidaknya dilakukan khitbah, karena toh bisa juga batal dan akibatnya menimbulkan masalah, tentu dikembalikan kepada asal hukumnya. Pada nikah gantung misalnya, terkadang proses khitbah disatukan dengan akad, tidak ada lagi masa menunggu atau persiapan," ujarnya.

Urgensi khitbah,lanjutnya, diperkuat oleh hadis riwayat Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, "Janganlah salah seorang dari kamu membeli apa yang sudah dibeli oleh saudaranya, dan janganlah pula meminang (wanita) yang sudah dipinang oleh saudaranya kecuali ia mengizinkannya."

Para ahli fiqih sepakat, tujuan utama larangan ini untuk menghindari permusuhan di antara manusia, karena akan mengakibatkan kekecewaan berbagai pihak. Bagaimanapun ikatan yang terputus akan menimbulkan kekecewaan salah satu pihak, dan ini akan menimbulkan sakit hati, dendam, sengketa dan kemarahan.

Maka dari itu, Islam mengajarkan menepati janji adalah salah satu sifat baik yang harus dimiliki seorang muslim, dan mengingkarinya adalah perbuatan tercela. Seperti firman Allah di dalam Alquran surat Al Isra ayat 34, "Dan sempurnakanlah perjanjian (dengan Allah dan dengan manusia), sesungguhnya setiap perjanjian itu akan dipersoalkan (pada hari kiamat)."

Pembatalan khitbah, menurut Aceng, harus dihindarkan, karena akan menjadi perselisihan antar keluarga yang tadinya rukun atau tidak ada masalah. Kehadiran pihak ketiga yang meminang, ketika wanita tersebut sudah dipinang, selain membawa kekecewaan juga akan menimbulkan hasut.

"Bisa dibayangkan bila pihak keluarga yang dibatalkan melakukan provokasi dengan mengatakan bahwa istri yang dinikahinya adalah 'bekas pakai' atau 'sisa jatah', bukankah itu akan mengganggu ketenteraman pernikahannya kelak. Hal itulah yang harus dihindarkan, sehingga Islam mengaturnya," ujarnya pula.

Tetapi, bukan berarti khitbah tidak boleh dibatalkan, hanya harus dilakukan pembicaraan yang baik antardua keluarga agar tidak terjadi perselisihan. Alasan yang bisa diterima akan menentramkan semua pihak. Jadi hade goreng ku omong. Bila perlu ditelusuri penyebabnya dan dibicarakan secara terbuka.

**

UNGKAPAN senada juga dikemukakan Mimin Aminah, konselor Sakinah Centre. Menurutnya, masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi salat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah.

"Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain," ujarnya.

Melamar, kata Mimin, adalah proses yang dilakukan setelah ta'aruf (upaya saling mengenal) sebelum menikah. Artinya, melamar merupakan komitmen akhir dari upaya saling kenal antarcalon mempelai yang diikuti restu bersama kedua keluarga besar. Dengan niat baik mempersatukan melalui ikatan pernikahan salah satu kerabat mereka.

"Jadi, bila laki-laki hendak melamar hanya datang sendirian atau ditemani pihak ketiga, tanpa dibarengi dengan keluarga dan kerabatnya, orang tua wanita berhak menolak," ujarnya.

Mengapa? Niat baik untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawahdah warahmah juga harus dibuktikan dengan sikap-sikap yang mendukungnya. Hadirnya keluarga kedua belah pihak, merupakan bentuk pertanggungjawaban, tidak hanya dari pasangan yang hendak menikah.

"Maka bila di kemudian hari ada masalah, mudah untuk diminta pertanggungjawabannya. Selain itu, juga menghindari kekecewaan setelah pernikahan berlangsung, karena kedua belak pihak sudah sama-sama terbuka dan menyampaikan itikad baiknya," tuturnya.

Untuk itu, melamar harus dijadikan gerbang akhir masa perkenalan bukan jalan untuk saling mengenal. Harus sungguh-sungguh dilakukan untuk menggali hal-hal yang bisa menjadi masalah di kemudian hari. Maka, kata Mimin, hal terpenting yang harus diperhatikan ketika prosesi lamaran atau khitbah dilakukan, harus sudah memastikan tanggal pernikahannya.

"Agar tidak terjadi pembatalan di tengah jalan yang berdampak pada kekecewaan dan rusaknya hubungan silaturahmi," ujarnya pula.

Khitbah boleh dibatalkan bila ternyata yang dikhitbah masih berhubungan darah. Kemudian ada sebab lain yang dibenarkan, yaitu ada hal-hal yang tersembunyi namun sebenarnya diketahui oleh pihak keluarga tapi sengaja ditutup-tutupinya, dan salah satu pihak berat untuk menerimanya.

Selain itu, sebab lain juga bisa diakibatkan tidak sehatnya jasmani dan rohani pasangan, atau ada hal-hal masa lalu yang tidak terjelaskan. Sementara, masa lalu itu akan mengganggu hubungan rumahtangganya kelak, atau sebab lain akibat ada kebaikan-kebaikan yang hilang setelah khitbah. Alasan itu juga menguatkan lebih baik batal khitbah daripada batal menikah.

"Jeda waktu antara khitbah dan menikah lebih singkat lebih baik, karena sangat rawan. Untuk itu, sebagai pendidikan terakhir dari keluarga upaya mengontrol diri semakin ditingkatkan bukan malah dilonggarkan," kata Mimin.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar